Mahasiswa, Teruskan Perlawananmu!
16.52 |
Beberapa hari ini, negeri kita diramaikan dengan isu rencana kenaikan harga BBM. Aksi serta demonstrasi pun marak dilakukan oleh teman-teman mahasiswa. Saya selaku anak bangsa yang pernah berstatus mahasiswa, sangat mendukung demonstrasi para mahasiswa.
Karena itu, dalam tulisan ini saya ingin memulainya dengan pengalaman sewaktu menjadi mahasiswa. Saya paham betul mengapa mahasiswa sangat menolak kebijakan kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM bukan saja menyulitkan kehidupan ekonomi masyarakat kecil dan miskin, tetapi juga hidup mereka yang umumnya kuliah di kota-kota kecil maupun kota besar.
Saya ingat persis ketika kebijakan yang sama diberlakukan pada tahun 2008 lalu, harga nasi bungkus di warung-warung sekitar kampus, Universitas Hasanuddin, Makassar, ikut melonjak naik, dari harga antara Rp 3.000-3.500 untuk nasi telur dan ikan, Rp 4.000 nasi ayam, menjadi Rp 4.500-5.000 nasi ribu telur dan ikan serta Rp 6.000 ribu untuk nasi ayam.
Ongkos pete-pete (angkot) pun naik dari Rp 2.000-2.500 menjadi Rp 3.000-3.500. Sewa kontrakan juga naik yang biasanya cuma rata-rata Rp 500.000-600.000 per tahun untuk ukuran termurah, kemudian naik menjadi satu jutaan. Kebetulan saat itu saya sendiri memang tinggal di rumah kos yang sederhana dan sewanya cuma Rp 600.000 per tahun, namun setelah ada kebijakan kenaikan harga BBM, sewa kamar rumah naik menjadi satu juta per tahun.
Pokoknya, ketika itu semua kebutuhan dasar saya melonjak harganya. Saya pun betul-betul kesal dan jengkel berat. Dalam benak, andai harga BBM tidak dinaikkan, sewa rumah, harga nasi warung, ongkos pete-pete dan biaya-biaya hidup lain tidak akan naik setinggi itu. Sebagai mahasiswa, apalagi berasal dari keluarga sederhana, tidak kaya dan tidak miskin juga, kenaikan biaya hidup tersebut ikut menjadi bahan pemikiran. Pengeluaran sehari-hari pun diperketat, kecuali untuk yang penting-penting dan mendesak.
Nah, sekarang harga BBM hendak dinaikkan kembali. Otomatis hal itu juga akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya. Bagi mahasiswa, sebagaimana saya dahulu, harga nasi bungkus di area kampus, sewa rumah dan ongkos angkot yang hari-hari ditumpangi oleh mereka akan naik pula. Lalu, bagaimana kehidupan mereka nantinya?
Padahal mahasiswa rata-rata berasal dari keluarga sederhana yang barangkali pas-pasan. Saya yakin dan percaya teman-teman mahasiswa akan pusing serta stress menghadapi kenyataan tersebut. Apalagi, dewasa ini harga buku juga bukan kepalang harganya. Bagi teman-teman di Jawa barangkali harga buku tak seberapa karena banyak terdapat pasar buku murah, tetapi di Makassar dan di luar Jawa pada umumnya mahal. Saya bisa benar-benar merasakan betapa terhimpitnya kehidupan mahasiswa nanti bila kebijakan kenaikan harga BBM itu direalisasikan oleh pemerintah pusat.
Itu baru mahasiswa, bagaimana dengan rakyat kecil dan masyarakat miskin kita yang jumlahnya ada 30 juta lebih (penghasilan satu dolar). Bukan tidak lebih stress dari para mahasiswa. Di satu sisi biaya hidup makin mahal, di sisi lain pendapatan dan penghasilan hari-hari juga tidak naik. Lucunya, penderitaan rakyat mau dikurangi dengan pembagian kompensasi BLT.
Pemberian BTL hanya sogokan paling terkecil untuk melunakkan amarah rakyat, tetapi dampaknya hanya mengajarkan mentalitas masyarakat menjadi pengemis. Benar-benar memalukan. Seolah-olah tidak ada alternatif lain. Para elit dan penguasa seakan telah kehilangan akal serta kreatifitas mengelola negara ini.
Bangsa kita negeri kaya. Segala potensi alam ada di negara ini. Dari emas sampai minyak berlimpah. Kenapa kita harus khawatir dan ikut terseret dalam kenaikan harga bahan bakar minyak dunia. Alasannya, takut beban subsidi BBM membengkak, APBN keok. Kenapa sumber-sumber penghasilan negara tidak dimaksimalkan?
Bagi hasil eksplorasi emas, tembaga, batubara, minyak dan gas selama ini dikemanakan? Mengapa bukan sumber-sumber alam itu dimaksimalkan? Bila hasilnya bocor, usut tuntas kebocorannya. Bila bagian negara kecil, re-negosiasikan pada semua korporasi asing. Jangan mau dibodoh-bodohi oleh pemodal luar, dan jangan gampang disuap oleh mereka. Kita adalah penguasa dan pemilik sah kekayaan alam tersebut. Coba tengok, mengapa Hugo Chavez, Presiden Venezuela bisa berhasil menegosiasikan ulang eksplorasi minyak dalam negerinya. Bagi hasilnya jadi terbalik, yang misalnya pihak pemerintah hanya memperoleh 25 pesen, korporasi 75 persen menjadi 75 persen oleh pemerintah, 25 persen pihak perusahaan asing.
Hasil pungut pajak negara selama ini dimana? Mengapa bukan pajak negara yang juga dimaksimalkan? Selama ini, hasil pajak negara selalu dikorupsi oleh pejabat dan pegawai yang tidak bermoral dan brengsek. Kalau pemerintah betul-betul punya itikad baik mengurus serta mengelola negara, maksimalkan dan berdayakan sumber-sumber penghasilan dalam negeri untuk menutupi defisit APBN serta biaya agenda pembangunan dan program-program kesejahteraan rakyat lainnya. Bukan dengan jalan menaikkan harga BBM. Saya yakin masih banyak terbentang solusi dan alternatif lain. Tugas dan tanggung jawab pemerintahlah untuk mencari solusi tersebut. Buat apa pemerintah kita dipilih oleh rakyat kalau bukan bekerja untuk kepentingan rakyat sendiri. Rakyat jangan selalu dijadikan tumbal dengan terus menaikkan harga BBM. Kita, rakyat bersepakat mendirikan negara ini untuk hidup baik dan sejahtera. Bukan untuk menjadi korban dari setiap kebijakan negara sendiri.
Buat apa konsensus dan kontrak sosial negara dibangun kalau negara sendiri sudah tidak mau mendengar aspirasi dan kepentingan rakyatnya. Hari-hari ini, teman-teman mahasiswa sudah berteriak-teriak ke ruang publik menyuarakan kepentingan rakyat untuk menggagalkan rencana kebijakan kenaikan harga BBM. Kalau pemerintah paham dengan konsep demokrasi, suara mahasiswa yang mewakili kepentingan rakyat itu perlu diperhitungkan juga. Jangan suara dan kepentingan mereka diabaikan begitu saja. Seolah-olah angin lalu.
Jika pemerintah masih tutup mata dengan kenyataan tersebut, pemerintah bisa hampir sama otoriter dan semena-menanya dengan rezim Orde Baru.
Pemerintah perlu tahu, demokrasi mengandaikan konsep ruang publik yang di dalamnya berkembang aspirasi dan kepentingan publik. Dalam negara demokratis, kebijakan tidak semena-mena diputuskan, tetapi perlu mempertimbangkan suara, aspirasi dan kepentingan rakyat (diskursus) yang berkembang di ruang publik. Jika pemerintah abai dan tidak peduli dengan hal itu, maka jangan salahkan mahasiswa kalau mereka marah menumpahkan kekesalannya di ruang publik itu sendiri. Dan tindakan itu memang sudah terjadi.
Hal itu barangkali hanya bagian ekspresi kekecewaan dan frustasinya terhadap sikap pemerintah yang tidak responsif atau sensitif terhadap kepentingan rakyat. Apalagi, kenyataan bernegara kita hari ini telah menunjukkan beragam ketidakadilan dan praktik korup. Rasa keadilan mereka, termasuk kita semua, sudah seringkali serta berkali-kali tercederai. Karena itu, tindakan anarkistis mahasiswa yang belakangan ini mewarnai demonstrasi mereka hanyalah masalah turunan dari sikap penguasa yang tidak peduli dengan kepentingan rakyat. Jadi jangan terlampau salahkan, kambing hitamkan, apalagi mencelah terus tindakan mahasiswa. Salahkan pemerintah dan penguasa hari ini.
Kita paham, demonstrasi mahasiswa yang memblokir jalan, membakar ban bekas, atau tindakan lain merugikan pihak-pihak tertentu. Tetapi itu cuma segelintir dan tidak sebanding dengan pengrusakan dan kebiadaban para elite politik yang menilap uang negara. Dana Bank Century, rekening gendut petinggi Polri, korupsi pembangunan Wisma Atlet Palembang, dan praktik korupsi lainnya yang menyengsarakan rakyat banyak, hanya menguap begitu saja tanpa ada penindakan tegas dari pemerintah, dalam hal rezim SBY-Boediono. Mahasiswa mana yang tidak marah melihat kenyataan itu. Apalagi, saya yakin dan percaya, mayoritas teman-teman mahasiswa punya kesadaran kritis dan idealisme yang menginginkan perubahan positif di dalam negara ini.
Karena itu, bagi saya (sekarang) kesahihan dan justifikasi moral gerakan mahasiswa yang anarkistis hari ini sudah cukup beralasan (baca: prasyarat gerakan revolusi). Bila pemerintah masih terus menutup mata, perlawanan revolusioner yang barangkali meminta korban bisa saja tersulut. Akan tetapi, kita tidak ingin hal itu terjadi. Kita hanya berharap, pemerintah betul-betul bekerja atas mandat dan kepentingan rakyat. Jika demikian yang terjadi, saya yakin, tidak akan ada mahasiswa yang bertindak anarkistis di ruang publik. Sebab, saya tahu betul, teman-teman mahasiswa adalah orang yang paham dengan kepentingan publik.
Read User's Comments(0)
Kritik Universitas, Kritik Ideologi
....apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintarannya.” (Y.B Mangunwijaya)
Petikan kalimat itu tampaknya menarik untuk disimak oleh para petinggi kampus dan dosen pengajar di universitas ini. Sebab, akhir-akhir ini kondisi sosial ekonomi daerah dan bangsa kian terpuruk. Keterpurukan itu bukan semata-semata karena kekuatan ideologi liberal-kapitalis yang menggerogoti tetapi juga karena perilaku dan tindakan anak negeri sendiri yang menindas dan eksploitatif.
Universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi harus menjawab permasalahan tersebut. Peran universitas bukan lagi semata-mata memproduksi generasi yang berilmu tetapi berkarakter dan berbudaya. Kegiatan akademik sejatinya bukan hanya upaya transfer ilmu tetapi transformasi nilai budaya. Sinergi antara budaya kearifan lokal dan budaya akademik merupakan sesuatu yang ideal untuk diajarkan pada mahasiswa baik secara verbal maupun praksis. Kalau itu diterapkan, proses demoralisasi dan dehumanisasi anak bangsa akan berakhir.
Distorsi Kesadaran Kaum Intelektual
02.15 |
Mendengar istilah intelektual, kita terkesima, kagum, dan takjub. Kagum serta terkesima karena sosok intelektual memilki kebesaran, ketinggian dan kedalaman ilmu dan pengetahuan. Karenanya, seorang intelektual adalah pribadi yang dihargai, dan ditempatkan pada posisi tertinggi dalam relasi atau stratifikasi sosial.
Kaum intelektual umumnya hidup dan berhabitat di kampus-kampus. Di sanalah, orang-orang intelektual berkecimpung, bergelut, dan bergumul dengan kehidupan. Mereka bagai cahaya yang bersinar menyinari fakta, realitas serta praksis kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hukum dan budaya di luar kampus. Suara-suara kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan memancar keras dari kampus. Mereka, kaum intelektual, menjadi benteng kekuatan moral, etik dan transendental kehidupan. Mereka menjadi juri dan hakim yang absolut terhadap praktek penindasan, ketidakadilan, ketimpangan, kesewenang-wenangan, kediktatoran, kezaliman, pemarjinalan, pemiskinan, dan pembodohan umat manusia. Mereka bagai nabi dan rasulnya kehidupan modern dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Penelitian Kurang, Kualitas Dosen atau Institusi Universitas?
01.51 |
Peran dan fungsi dosen sejatinya tidak hanya mengajar tetapi juga melakukan penelitian untuk menjawab semua permasalahan masyarakat sekaligus melahirkan inovasi dan teknologi baru. Kegiatan penelitian dalam universitas memang sangat penting. Maju tidaknya daerah dan bangsa sangat ditentukan oleh banyaknya hasil-hasil penelitian atau inovasi teknologi yang sudah dilahirkan dari universitas. Unhas sebagai universitas ternama di Indonesia Timur mengemban amanah itu.
Nasionalisme dan Sumpah Pemuda
10.03 |
Tanggal 28 Oktober 928 adalah salah satu tonggak sejarah berdirinya Indonesia sebagai bangsa. Kaum muda dari berbagai daerah di tanah air berkumpul dan bersatu mendeklarasikan negeri ini dengan janji dan sumpah yang lahir dari semangat dan rasa nasionalisme yang besar melampau ikatan-ikatan kedaerahan serta sentimen-sentimen primordial lainnya.
Antara Akademik dan Organisasi
09.55 |
Dalam opini publik, aktif di organisasi kemahasiswaan kerap mendapat stigma buruk. Stigma itu didasari oleh kenyataan, aktif di organisasi bisa berdampak buruk bagi proses perkuliahan. Berorganisasi bisa menghambat agenda perkuliahan mahasiswa, berorganisasi menelantarkan kuliah mahasiswa, berorganisasi menjadikan kuliah mahasiswa terbengkalai. Demikian stigma buruk publik, utamanya orang tua mahasiswa sendiri yang menilai keaktifan mahasiswa dalam berlembaga.
Menggugat Legitimasi Anarkisme Mahasiswa
09.39 |
Gerakan mahasiswa selalu dimaknai dengan gerakan moral, sebab gerakannya selalu diarahkan untuk membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Rakyat selalu menjadi titik tolak mahasiswa untuk melakukan kritik dan perlawanan dalam bentuk demonstrasi terhadap rezim yang berkuasa.
Itulah mengapa gerakan mahasiswa selalu mendapat legitimasi. Publik bisa memaklumi kalau ada demonstrasi mahasiswa di jalanan, berarti ada persoalan mendasar yang menimpa masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga aksi jalanan mahasiswa mendapat dukungan serta simpati warga.
Langganan:
Postingan (Atom)