Mahasiswa, Teruskan Perlawananmu!

Beberapa hari ini, negeri kita diramaikan dengan isu rencana kenaikan harga BBM. Aksi serta demonstrasi pun marak dilakukan oleh teman-teman mahasiswa. Saya selaku anak bangsa yang pernah berstatus mahasiswa, sangat mendukung demonstrasi para mahasiswa.
Karena itu, dalam tulisan ini saya ingin memulainya dengan pengalaman sewaktu menjadi mahasiswa. Saya paham betul mengapa mahasiswa sangat menolak kebijakan kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM bukan saja menyulitkan kehidupan ekonomi masyarakat kecil dan miskin, tetapi juga hidup mereka yang umumnya kuliah di kota-kota kecil maupun kota besar.
Saya ingat persis ketika kebijakan yang sama diberlakukan pada tahun 2008 lalu, harga nasi bungkus di warung-warung sekitar kampus, Universitas Hasanuddin, Makassar, ikut melonjak naik, dari harga antara Rp 3.000-3.500 untuk nasi telur dan ikan,  Rp 4.000 nasi ayam, menjadi Rp 4.500-5.000 nasi ribu telur dan ikan serta Rp 6.000  ribu untuk nasi ayam.
Ongkos pete-pete (angkot) pun naik dari Rp 2.000-2.500 menjadi Rp 3.000-3.500. Sewa kontrakan juga naik yang biasanya cuma rata-rata Rp 500.000-600.000 per tahun untuk ukuran termurah, kemudian naik menjadi satu jutaan. Kebetulan saat itu saya sendiri memang tinggal di rumah kos yang sederhana dan sewanya cuma Rp 600.000 per tahun, namun setelah ada kebijakan kenaikan harga BBM, sewa kamar rumah naik menjadi satu juta per tahun.
Pokoknya, ketika itu semua kebutuhan dasar saya melonjak harganya. Saya pun betul-betul kesal dan jengkel berat. Dalam benak, andai harga BBM tidak dinaikkan, sewa rumah, harga nasi warung, ongkos pete-pete dan biaya-biaya hidup lain tidak akan naik setinggi itu. Sebagai mahasiswa, apalagi berasal dari keluarga sederhana, tidak kaya dan tidak miskin juga, kenaikan biaya hidup tersebut ikut menjadi bahan pemikiran. Pengeluaran sehari-hari pun diperketat, kecuali untuk yang penting-penting dan mendesak.
Nah, sekarang harga BBM hendak dinaikkan kembali. Otomatis hal itu juga akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya. Bagi mahasiswa, sebagaimana saya dahulu, harga nasi bungkus di area kampus, sewa rumah dan ongkos angkot yang hari-hari ditumpangi oleh mereka akan naik pula. Lalu, bagaimana kehidupan mereka nantinya?
Padahal mahasiswa rata-rata berasal dari keluarga sederhana yang barangkali pas-pasan. Saya yakin dan percaya teman-teman mahasiswa akan pusing serta stress menghadapi kenyataan tersebut. Apalagi, dewasa ini harga buku juga bukan kepalang harganya. Bagi teman-teman di Jawa barangkali harga buku tak seberapa karena banyak terdapat pasar buku murah, tetapi di Makassar dan di luar Jawa pada umumnya mahal. Saya bisa benar-benar merasakan betapa terhimpitnya kehidupan mahasiswa nanti bila kebijakan kenaikan harga BBM itu direalisasikan oleh pemerintah pusat.
Itu baru mahasiswa, bagaimana dengan rakyat kecil dan masyarakat miskin kita yang jumlahnya ada 30 juta lebih (penghasilan satu dolar). Bukan tidak lebih stress dari para mahasiswa. Di satu sisi biaya hidup makin mahal, di sisi lain pendapatan dan penghasilan hari-hari juga tidak naik. Lucunya, penderitaan rakyat mau dikurangi dengan pembagian kompensasi BLT.   
Pemberian BTL hanya sogokan paling terkecil untuk melunakkan amarah rakyat, tetapi dampaknya hanya mengajarkan mentalitas masyarakat menjadi pengemis. Benar-benar memalukan. Seolah-olah tidak ada alternatif lain. Para elit dan penguasa seakan telah kehilangan akal serta kreatifitas mengelola negara ini.
Bangsa kita negeri kaya. Segala potensi alam ada di negara ini. Dari emas sampai minyak berlimpah. Kenapa kita harus khawatir dan ikut terseret dalam kenaikan harga bahan bakar minyak dunia. Alasannya, takut beban subsidi BBM membengkak, APBN keok. Kenapa sumber-sumber penghasilan negara tidak dimaksimalkan?
Bagi hasil eksplorasi emas, tembaga, batubara, minyak dan gas selama ini dikemanakan? Mengapa bukan sumber-sumber alam itu dimaksimalkan? Bila hasilnya bocor, usut tuntas kebocorannya. Bila bagian negara kecil, re-negosiasikan pada semua korporasi asing. Jangan mau dibodoh-bodohi oleh pemodal luar, dan jangan gampang disuap oleh mereka. Kita adalah penguasa dan pemilik sah kekayaan alam tersebut. Coba tengok, mengapa Hugo Chavez, Presiden Venezuela bisa berhasil menegosiasikan ulang eksplorasi minyak dalam negerinya. Bagi hasilnya jadi terbalik, yang misalnya pihak pemerintah hanya memperoleh 25 pesen, korporasi 75 persen menjadi 75 persen oleh pemerintah, 25 persen pihak perusahaan asing.
Hasil pungut pajak negara selama ini dimana? Mengapa bukan pajak negara yang juga dimaksimalkan? Selama ini, hasil pajak negara selalu dikorupsi oleh pejabat dan pegawai yang tidak bermoral dan brengsek. Kalau pemerintah betul-betul punya itikad baik mengurus serta mengelola negara, maksimalkan dan berdayakan sumber-sumber penghasilan dalam negeri untuk menutupi defisit APBN serta biaya agenda pembangunan dan program-program kesejahteraan rakyat lainnya. Bukan dengan jalan menaikkan harga BBM. Saya yakin masih banyak terbentang solusi dan alternatif lain. Tugas dan tanggung jawab pemerintahlah untuk mencari solusi tersebut. Buat apa pemerintah kita dipilih oleh rakyat kalau bukan bekerja untuk kepentingan rakyat sendiri. Rakyat jangan selalu dijadikan tumbal dengan terus menaikkan harga BBM. Kita, rakyat bersepakat mendirikan negara ini untuk hidup baik dan sejahtera. Bukan untuk menjadi korban dari setiap kebijakan negara sendiri.
Buat apa konsensus dan kontrak sosial negara dibangun kalau negara sendiri sudah tidak mau mendengar aspirasi dan kepentingan rakyatnya. Hari-hari ini, teman-teman mahasiswa sudah berteriak-teriak ke ruang publik menyuarakan kepentingan rakyat untuk menggagalkan rencana kebijakan kenaikan harga BBM. Kalau pemerintah paham dengan konsep demokrasi, suara mahasiswa yang mewakili kepentingan rakyat itu perlu diperhitungkan juga. Jangan suara dan kepentingan mereka diabaikan begitu saja. Seolah-olah angin lalu.
Jika pemerintah masih tutup mata dengan kenyataan tersebut, pemerintah bisa hampir sama otoriter dan semena-menanya dengan rezim Orde Baru.
Pemerintah perlu tahu, demokrasi mengandaikan konsep ruang publik yang di dalamnya berkembang aspirasi dan kepentingan publik. Dalam negara demokratis, kebijakan tidak semena-mena diputuskan, tetapi perlu mempertimbangkan suara, aspirasi dan kepentingan rakyat (diskursus) yang berkembang di ruang publik.  Jika pemerintah abai dan tidak peduli dengan hal itu, maka jangan salahkan mahasiswa kalau mereka marah menumpahkan kekesalannya di ruang publik itu sendiri. Dan tindakan itu memang sudah terjadi.
Hal itu barangkali hanya bagian ekspresi kekecewaan dan frustasinya terhadap sikap pemerintah yang tidak responsif atau sensitif terhadap kepentingan rakyat. Apalagi, kenyataan bernegara kita hari ini telah menunjukkan beragam ketidakadilan dan praktik korup. Rasa keadilan mereka, termasuk kita semua, sudah seringkali serta berkali-kali tercederai. Karena itu, tindakan anarkistis mahasiswa yang belakangan ini mewarnai demonstrasi mereka hanyalah masalah turunan dari sikap penguasa yang tidak peduli dengan kepentingan rakyat. Jadi jangan terlampau salahkan, kambing hitamkan, apalagi mencelah terus tindakan mahasiswa. Salahkan pemerintah dan penguasa hari ini.
Kita paham, demonstrasi mahasiswa yang memblokir jalan, membakar ban bekas, atau tindakan lain merugikan pihak-pihak tertentu. Tetapi itu cuma segelintir dan tidak sebanding dengan pengrusakan dan kebiadaban para elite politik yang menilap uang negara. Dana Bank Century, rekening gendut petinggi Polri, korupsi pembangunan Wisma Atlet Palembang, dan praktik korupsi lainnya yang menyengsarakan rakyat banyak, hanya menguap begitu saja tanpa ada penindakan tegas dari pemerintah, dalam hal rezim SBY-Boediono. Mahasiswa mana yang tidak marah melihat kenyataan itu. Apalagi, saya yakin dan percaya, mayoritas teman-teman mahasiswa punya  kesadaran kritis dan idealisme yang menginginkan perubahan positif di dalam negara ini.   
Karena itu, bagi saya (sekarang) kesahihan dan justifikasi moral gerakan mahasiswa yang anarkistis hari ini sudah cukup beralasan (baca: prasyarat gerakan revolusi). Bila pemerintah masih terus menutup mata, perlawanan revolusioner yang barangkali  meminta korban bisa saja tersulut. Akan tetapi, kita tidak ingin hal itu terjadi. Kita hanya berharap, pemerintah betul-betul bekerja atas mandat dan kepentingan rakyat. Jika demikian yang terjadi, saya yakin, tidak akan ada mahasiswa yang bertindak anarkistis di ruang publik. Sebab, saya tahu betul, teman-teman mahasiswa adalah orang yang paham dengan kepentingan publik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar