....apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintarannya.” (Y.B Mangunwijaya)
Petikan kalimat itu tampaknya menarik untuk disimak oleh para petinggi kampus dan dosen pengajar di universitas ini. Sebab, akhir-akhir ini kondisi sosial ekonomi daerah dan bangsa kian terpuruk. Keterpurukan itu bukan semata-semata karena kekuatan ideologi liberal-kapitalis yang menggerogoti tetapi juga karena perilaku dan tindakan anak negeri sendiri yang menindas dan eksploitatif.
Universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi harus menjawab permasalahan tersebut. Peran universitas bukan lagi semata-mata memproduksi generasi yang berilmu tetapi berkarakter dan berbudaya. Kegiatan akademik sejatinya bukan hanya upaya transfer ilmu tetapi transformasi nilai budaya. Sinergi antara budaya kearifan lokal dan budaya akademik merupakan sesuatu yang ideal untuk diajarkan pada mahasiswa baik secara verbal maupun praksis. Kalau itu diterapkan, proses demoralisasi dan dehumanisasi anak bangsa akan berakhir.
Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Perubahan universitas harus dimulai dari perubahan paradigma. Dan upaya perubahan paradigma di universitas bak membentur tembok. Paradigma universitas terlalu sulit dirubah. Kekuasaan ideologi dominan yang berwajah positivisme mencengkram kuat seisi universitas. Unhas yang kerap dipuja-puja sebagai universitas ternama juga tak lepas dari cengkraman itu.
Positivisme telah lama menjadi instrumen ideologi liberal-kapitalis di dunia akademik kampus. Positivisme bahkan telah menjadi budaya akademik. Kritik dan kecaman atasnya pun telah lama dilontarkan, namun para petinggi kampus di negeri ini masih saja mengidolakannya sebagai tradisi ilmiah.
Salah satu kelompok yang mengkritik dan menentang keras budaya positivisme ini adalah kaum mazhab Frankfurt atau kelompok teori kritis yang berasal dari Jerman. Bagi mazhab Frankfurt, positivisme merupakan bentuk baru dari ideologi dominan (liberal-kapitalis) untuk melegitimasi dominasi dan kekuasaannya dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sebab pemikiran positivisme selalu mencoba memisahkan antara fakta, pengetahuan dengan nilai, dan kepentingan (objektivisme). Karena itu, mazhab kritis menolak gagasan positivisme yang dianggap mendukung dan mereproduksi ideologi status quo Liberal-kapitalis.
Kalau Unhas ingin melahirkan generasi kritis yang berkesadaran, berkarakter dan peka terhadap permasalahan sosial, cara pandang positivisme harus dienyahkan sebagaimana kritik mazhab kritis. Unhas sejatinya tidak terkukung dalam paradigma positivis. Unhas mestinya melahirkan mazhab baru yang tidak bergantung pada ideologi positivisme. Mazhab kritis bisa dijadikan titik tolak untuk melahirkan mazhab baru dalam tradisi keilmuan. Kelemahan terbesar universitas, termasuk Unhas saat ini, tidak jelasnya mazhab dan tradisi yang diterapkan dalam kehidupan akademik. Unhas terlalu konservatif dalam tradisi keilmuan. Sehingga universitas hanya menjadi aparatus ideologi dominan yang akhirnya hanya menjadi menara gading di tengah kehidupan sosial masyarakat dan bangsa.
Oleh karena itu, kritik kita terhadap Unhas adalah kritik ideologis. Perubahan kita terhadap Unhas adalah perubahan ideologi dan paradigma.
0 komentar:
Posting Komentar