Mendengar istilah intelektual, kita terkesima, kagum, dan takjub. Kagum serta terkesima karena sosok intelektual memilki kebesaran, ketinggian dan kedalaman ilmu dan pengetahuan. Karenanya, seorang intelektual adalah pribadi yang dihargai, dan ditempatkan pada posisi tertinggi dalam relasi atau stratifikasi sosial.
Kaum intelektual umumnya hidup dan berhabitat di kampus-kampus. Di sanalah, orang-orang intelektual berkecimpung, bergelut, dan bergumul dengan kehidupan. Mereka bagai cahaya yang bersinar menyinari fakta, realitas serta praksis kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hukum dan budaya di luar kampus. Suara-suara kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan memancar keras dari kampus. Mereka, kaum intelektual, menjadi benteng kekuatan moral, etik dan transendental kehidupan. Mereka menjadi juri dan hakim yang absolut terhadap praktek penindasan, ketidakadilan, ketimpangan, kesewenang-wenangan, kediktatoran, kezaliman, pemarjinalan, pemiskinan, dan pembodohan umat manusia. Mereka bagai nabi dan rasulnya kehidupan modern dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Karena itulah, posisi mereka dalam hidup dan meng-ada dalam bangsa dan negara sangat penting. Maju dan mundurnya bangsa ini - sebagai tekad untuk hidup bersama ¬- bergantung pada berfungsi dan berperannya kaum intelektual. Kalau peran kaum intelektual telah mengalami kemandulan, penumpulan, kegagapan, austisme, stagnasi, bahkan pendangkalan, serta kemundurun,yakin dan percaya bangsa tersebut – the imagined nation – seperti Indonesia akan terpuruk dan stagnan sebagaimana adanya.
Lantas, bagaimana peran dan fungsi kaum intelektual (terkhusus para dosen) hari ini sesungguhnya? Secara objektif, peran intelektual kian kehilangan bentuk serta jauh – kalau tidak mau dibilang hilang - dari peredaran keseharian masyarakat dan bangsa hari ini. Malah, yang memiriskan terjadi di universitas besar seperti Universitas Hasanuddin, tempat penulis belajar memadu ilmu, organisasi dan jurnalisme. Asumsi ini bukan tanpa alasan dan justifikasi rasional, tapi berdasarkan pada fakta dan pengalaman penulis menjadi jurnalis kampus. Kenyataan ini sebenarnya telah menjadi rahasia umum di mata teman-teman dan kelompok aktivis luar yang kritis mengamati kiprah kuam intelektual kampus merah ini. Masalah tersebut tidak saja menimpa Unhas, tetapi berbagai universitas di Makassar maupun di Jawa.
Salah satu indikasi mundurnya peran kaum intelektual kampus yang paling mendasar serta fundamental adalah minimnya perlawanannya untuk meneriakkkan suara-suara keadilan, kebenaran dan kemanusiaan dalam hidup bermasyarakat atau berbangsa. Malah, kaum intelektual kampus cenderung bersikap diam, menunduk dan masa bodoh dengan kondisi bangsa hari ini yang makin carut-marut, kasak-kusuk, bobrok, terpuruk dan tertinggal dari negara-negera lain. Apa yang kita saksikan adalah kaum intelektual menjadi pendukung dan simpatisan rezim yang mengabdi serta menyerahkan dirinya pada kekuasaan. Kaum intelektual menjadi terkooptasi dan akhirnya bermutualis dengan kekuasaan rezim pasca-reformasi.
Tak heran kalau tesis Julian Benda, intelektual Prancis, tentang penghianatan kaum inteketual pada delapan dekade lalu (1930-an), masih relevan hingga hari ini. Menurut Benda, tugas kaum intelektual bukanlah untuk mengabdi pada kekuasaan atau kepentingan-kepentingan politik, tetapi justru untuk memperjuangkan nilai-nilai abadi yang belaku setiap zaman dan keadaan. Nilai-nilai yang dimaksud Benda adalah kebenaran, keadilan dan rasionalitas.
Pertanyaannya kemudian apa yang sedang terjadi dengan kelompok intelektual kampus hingga cenderung autis menyaksikan nilai-nilai dasar tersebut diinjak-injak oleh penguasa atau elite politik dan malah mau berasimilasi dengannya? Ada dua hal yang menjadi penyebab mengapa demikian, pertama soal kesadaran. Kuam intelektual terjebak dalam kesadaran rasio instrumental, sebuah kesadaran rasio yang hanya mendahulukan kepentingan-kepentingan praktis, bukan pembebasan.
Makanya, aktivitas substansial mereka hanya berkisar pada penelitian, pemanfaatan, rekayasa, dan eksploitasi untuk kepentingan ilmu dan pribadinya belaka. Oleh konsep kesadarannya Paulo Freire, kaum intelektual kehilangan kesadaran kritis, oleh Antony Giddens, kuam intelektual terjebak pada kesadaran praktis, oleh Gramsci dan Max Horkhoimer kaum intelektual hanya menjadi intelektual tradisional yang tak punya perjuangan untuk kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan kehidupan di laur. Itulah mengapa kampus cenderung jadi menara gading yang tak punya kaitan sosial dan historis atas kehidupan.
Kedua, mandulnya resistensi intelektual terhadap gejala pembusukan oleh elite politik dan penguasa dan demoralisasi bangsa, karena tidak adanya keberanian atau nyali mereka untuk menyuarakan kebenaran di hadapan para penguasa. Mereka lebih memilih diam dan berlaku permisif daripada berhadapan dengan penguasa. Mereka terlalu khawatir kalau penentangannya secara normatif dan praksis akan memarjinalkan dirinya.
Padahal, itu sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab moralnya selaku pihak yang tahu serta paham dengan persoalan atau kemelut bangsa. Sehingga budaya kritik nyaris tak lagi menjadi pilihan bagi mereka untuk memajukan dan mengantarkan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan sejahtera. Siapa lagi yang diharap melakukan kritik, koreksi dan resolusi kalau bukan kaum intelektual kampus?
Tanggung jawab itu tentu tidak mungkin diharap dari masyarakat awam. Mereka tidak punya kapasitas atau kemampuan akan hal itu, tetapi tetap akan mendukung pembenaran dan perjuangan kaum intelektual. Makanya, sikap kejantanan intelektualitas itulah yang langka dimiliki oleh mereka yang berhabitat di universitas. Sosok Galileo, Socrates, Ali Syariati, Tan Malaka, Syarir, Pramoedya, Mochtar Lubis, dan lain-lain adalah contoh orang-orang yang mau dan siap mati atau menderita demi kebenaran dan idealismenya. Adakah intelektual atau cendekiawan Unhas yang mau bersikap serta siap menghadapi tantangan dan resiko seperti mereka demi idealisme dan kebenaran yang diyakininya?
0 komentar:
Posting Komentar