Menggugat Legitimasi Anarkisme Mahasiswa

     Gerakan mahasiswa selalu dimaknai dengan gerakan moral, sebab gerakannya selalu diarahkan untuk membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Rakyat selalu menjadi titik tolak mahasiswa untuk melakukan kritik dan perlawanan dalam bentuk demonstrasi terhadap rezim yang berkuasa.
Itulah mengapa gerakan mahasiswa selalu mendapat legitimasi. Publik bisa memaklumi kalau ada demonstrasi mahasiswa di jalanan, berarti ada persoalan mendasar yang menimpa masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga aksi jalanan mahasiswa mendapat dukungan serta simpati warga.
     Meski sebenarnya, ada juga warga yang tidak simpatik, malah mencibir aksi mahasiswa yang dianggap tidak merepresentasikan aspirasi mereka. Bagaimana tidak, demonstrasi mahasiswa selalu menimbulkan kemacetan besar. Rakyat pun jadi dongkol dan kecewa karena aksi jalanan mereka telah mengganggu urusan dan kepentingan mereka. Tidak hanya itu, gerakan jalanan mahasiswa belakangan ini dianggap terlalu liar dan buas karena melakukan penghancuran dan pengrusakan terhadap fasilitas publik yang ada di jalan, termasuk barang milik negara, seperti mobil dinas.
Kejadian seperti itu terjadi pada Rabu (20/10) lalu, di depan Pintu I Universitas Hasanuddin (Unhas). Demonstrasi mahasiswa Unhas, ketika itu, memang sedikit anarkis. Lampu merah dipukul sampai hancur. Salah satu mobil yang berplat merah, ditahan lalu dihancurkan dan digulingkan.
     Tindakan anarkis ini menjadi tanda tanya, apakah gerakan mahasiswa membenarkan aksi pengrusakan milik publik atau milik negara? Jika demikian adanya, bagaimana legitimasi dan batas moral atau etisnya?
Pertanyaan ini diakui akan panjang dan sedikit debateable karena melibatkan gagasan ideologis. Sebab aksi anarkis seringkali bukan semata-mata tindakan kekerasan biasa tetapi menjadi sebuah paham yang melegalkan tindakan anarkis untuk mewujudkan cita-cita ideologisnya.
     Dalam tradisi sosialisme, paham seperti itu disebut anarkisme. Pencetus gerakan anarkisme adalah Mikhail Alexandrovich Bakunin (Bakunin) yang terinspirasi oleh Pierre Joseph Proudhon yang mencita-citakan masyarakat tanpa hirarkis atau masyarakat bebas.
Dalam pemikiran anarkisme Bakunin, negara harus dihapuskan, sebab kekuasaan negara selalu menindas dan melanggar hak bebas individu. Makanya negara harus digantikan dengan komunitas-komunitas yang bebas dan mandiri secara ekonomi. Untuk mewujudkan cita-cita itu, kaum anarkisme kerap kali melakukan kekerasan.
     Maraknya aksi anarkis dalam beberapa demonstrasi mahasiswa Unhas perlu digaris bawahi, apakah fenonema itu sebatas tindakan kekerasan biasa atau wujud penerapan anarkisme Bakunin yang kini merasuki pemikiran gerakan mahasiswa Unhas. Bagi teman-teman (maaf) yang tergabung dalam gerakan 20 oktober lalu, aksi pengrusakan lampu merah dan mobil dinas perlu dicermati baik-baik. Sebab jangan sampai gerakan tersebut terjebak dalam gerakan anarkisme yang menghalalkan kekerasan untuk mewujudkan gagasan ideologisnya.
     Terlepas apakah aksi pengrusakan yang terjadi dalam beberapa unjuk rasa mahasiswa Unhas sebagai sebuah gerakan anarkisme (ideologi) atau bukan, tindakan anarkis atau kekerasan tidak serta merta dibenarkan dalam gerakan mahasiswa. Tindakan anarkis mahasiswa dalam gerakan harus kontekstual. Kontekstualisasi itu mengandung beberapa persyaratan.
     Pertama, aksi anarkisme mahasiswa bisa dipahami kalau ada upaya represif dari aparat keamanan atau rezim yang berkuasa untuk meredam aksi mahasiswa. Pada hari yang sama, syarat ini terpenuhi di Semarang. Pada saat mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) berdemo di depan kampusnya, pihak kepolisian membubarkan mereka secara represif dan melakukan penembakan pada salah seorang demonstran. Sehingga wajar kalau mahasiswa UBK melakukan penyerangan dan tindak anarkis pada pihak kepolisian.
     Kedua, anarkisme bisa dimaklumi jika ada persoalan mendesak yang menimpa eksistensi mahasiswa itu sendiri seperti sanksi DO di kampus yang alasannya tidak jelas atau rasional bagi mereka. Aksi anarkis pernah terjadi di gedung rektorat Unhas karena kasus seperti ini beberapa bulan lalu.
Ketiga, anarkisme mahasiswa bisa diterima kalau terjadi krisis ekonomi besar-besaran yang membuat kehidupan rakyat terpuruk sehingga mahasiswa menuntut rezim yang berkuasa agar segera mundur karena dianggap gagal menjalankan amanat rakyat. Fenomena seperti ini terjadi pada 1998 silam. Kondisi sosial ekonomi sekarang belum memungkinkan untuk melakukan penggulingan rezim yang biasanya sarat dengan kekerasan.
     Keempat, tindak anarkisme mahasiswa harus mendapat legitimasi yang riil dari rakyat. Prasyarat ini mengasumsikan dukungan serta keterlibatan rakyat yang masif karena sudah muak dan kecewa dengan rezim.
Dengan melihat kondisi objektif yang ada, unjuk rasa mahasiswa Unhas yang lalu belum memenuhi keempat prasyarat tersebut. Lantas dimanakah legitimasi tindak anarkisme mahasiswa Unhas lalu? Jika demikian, wajar kalau aksi anarkisme itu hanya jadi bumerang bagi citra dan gerakan mahasiswa di tengah masyarakat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar